“ya,
hallo….Intan disini.”
“Hai kupikir kau
tidur.” Terdengar tawanya yang lembut.
“Bagaimana,
sehat-sehat aja kan?”
Ah, suara itu masih menggema dan
kukenal dengan baik, “eh yach begitulah”
“Sekolahmu lancar?”
“Hei, aku bukan
tukang bolos. You know it.”
“Aku percaya,
yang kumaksud , apakah kau masih tetap bisa mengatur waktu antara istirahat dan
sekolah? Lalu waktu makanmu? Kesehatanmu…”
“Memang makin
berat. Kendati begitu kau toh tidak akan menganjurkanku untuk menyerah, bukan?
Aku sudah setengah jalan, Dan.”
“Itu hobi baruku
sebulan terakhir ini.”
“Intan.” Nada
suaranya terdengar begitu panik. “Pasti wajahmu sudah seperti mayat hidup
sekarang, dan penyakit lamamu….”
“Relax, Dani, don’t be so panic. Penyakit itu tidak
pernah datang lagi sesudah kesibukanku menggunung. Aku malah yakin kalau aku
sudah sembuh.”
“Syukurlah, tapi
kau harus tetap waspada. Aku tidak mau melihat kondisimu yang buruk kalau kita
ketemu nanti.”
Aku diam. Kalau kita ketemu
nanti….apa itu mungkin? Sudah enam purnama kami tidak pernah bertemu muka sejak
ulang tahunku yang terakhir, dan keyakinanku akan kelanjutan hubungan ini sudah
mulai mencapai titik jenuhnya. Aku bahkan sudah memutuskan untuk….
“Dani…”
“Ada apa?”
“Kenapa
menelponku?”
“Hei, tidak ada larangan seseorang untuk menelpon
kekasihnya bila sedang kangen kan? Atau .. kau tidak senang?”
“Bukan begitu,
soalnya kau kan selalu sibuk.” Dan lagi kulirik jam dinding, “biasanya kau baru
bisa agak santai menjelang tengah malam.”
“Hari ini aku
dapat bala bantuan dari Erry. Tuh, dia kirim salam paling manis dari meja
kerjanya. Sementara aku bicara denganmu, dia mengerjakan tugas bagianku. Dia
baik yah?”
Diam beberapa saat. Samar-samar
kudengar suara ketikan, lalu suara yang menanyakan rubric profil sudah bisa
di-Lay out.
“Intan..”
Aku hanya menggumam menjawab
panggilannya.
“aku kangen,
kangen sekali.”
Aku bahkan lebih dari itu,
batinku sampai terkadang sesak di dada tak mampu tertahankan lagi sakitnya.
“Jadi kenapa tak
berusaha menemuiku?”
“Tugasku
menumpuk, sayang. Jauh lebih banyak dari yang bisa kukerjakan. Aku akan
kehilanganmu bila pertemuan kita hanya tiga kali dalam setahun, padahal kita
dalam satu kota.”
Rasanya segores luka tengah
diukir paksa di dadaku saat ini. Apakah Dani sudah merasa kalau aku mulai tidak
tahan dengan model pacaran yang menyebalkan ini?
“Tapi aku
percaya padamu,intan, kau tetap sabar menungguku. Aku yakin akan kasih
sayangmu.”
Runtuh sudah niatku untuk
mengakhiri hubungan kami. Suara itu tidak berubah, didalamnya selalu kurasakan
ada rindu dan kasih sayang melimpah. Seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.
Tapi cinta perlu bukti , setidaknnya buatku. Kata-kata cinta dan kangen tak ada
artinya bila kami selalu dipisahkan oleh kesibukannya. Aku menginginkan rutin
meskipun hanya semenit dalam 7x24 jam setiap minggunya. Bukan hanya suara
telpon yang sering terputus bila tiba-tiba dipanggil oleh pemimpin redaksi atau
meeting.
“Terima kasih,
Dan, aku akan berusaha menjaga kesetiaanku. Kuharap kau juga begitu jangan
kotori kepercayaanku.”
“Pasti, Intan.
Aku …” suaranya terputus sejenak, lalu terdengar sedikit menyesal saat
mengatakan.
“Maaf yah, aku
harus rapat.”
Tuh kan kubilang
juga apa.
“Aku tak apa-apa.”
“Maaf yah,
padahal aku masih kangen. Nanti kuhubungi lagi.”
“Besok aja, aku
paham kok.”
“Thanks. I Love
You, Intan.”
Sebelum sempat mengucapkan
kalimat yang sama, sudah terdengar akan nada putus. Dengan perasaan letih kupejamkan
mata, mencoba mencari sosok Dani dalam gelap, mencoba membangkitkan rasa kangen
padanya. Tapi itu menyakitiku. Aku bahkan ingat lagi pada raut wajahnya. Satu hal yang masih cukup jelas
kuingat tentang Dani adalah saat dimana ia memelukku dengan hangat di ulang
tahunku yang ke 19, seolah ingin menyalurkan semua cinta yang dimilikinya.
Selain itu… aku tak ingat apa-apa tentangnya.
Aku tak tahu kenapa dulu aku
menerimanya padahal aku tahu Dani tidak akan punya banyak waktu untukku. Dulu
cinta kami hanya ditautkan oleh kesetiaan yang kami agungkan di atas segalanya,
yang kami percaya bisa mempersatukan rindu ini seberapa banyak pun halangan
merintangi. Tapi kini aku meragukan semua itu.
Ada seseorang, Bobby yang
mengambil alih tempat Dani beberapa minggu ini. Sosok yang bersedia menyediakan
semua yang kutuntut dari Dani. Waktunya, perhatiannya, hatinya, tanpa peduli
saat kukatakan aku sudah punya kekasih.
“Dani memang
masih pacarmu, tapi aku toh berhak bersaing dengannya selama janur kuning belum
melengkung.” Sahutnya ringan dua hari yang lalu.
“Dia hanya pacar
simbolis bagimu, In, untuk apa dipertahankan lagi?”
“Aku
menyayanginya.”
“Dia tidak
memberimu apa-apa selain kesendirian.”
“Dia memberiku
tempat yang paling istimewa dalam hatinya.”
“Jangan
membuatku tertawa,Intan.”
“Dia
mencintaiku, Bob, aku percaya kalau Dani…”
“Setia? Ah,
Intan kau lugu sekali. Kalian sudah lama tidak bertemu, masa sih kau tidak
punya kecurigaan? Disana Dani selalu bertemu dengan banyak orang, siapa tahu
ada gadis yang…”
Aku tak mendengar akhir kalimat
Bobby yang mencobba menjelek-jelekkan Dani. Namun kata-katanya seolah
membekukan segalanya. Hatiku semakin bimbang.
“Aku menawarkan
tempat yang lebih istimewa untukmu, Intan. Aku tidak memberikan janji kau bisa
membuktikannya sendiri.”
“Lalu bagaimana
dengan Dani? Dia…”
“Forget him, sampai kapan kau akan menyiksa
diri dengan kata-kata cinta dan rindu, padahal sudah lama kalian tak bertemu?
Jangan sia-siakan dirimu hanya untuk menunggu seseorang yang mungkin tidak pernah ingat padamu.”
Itu tidak benar, Dani masih ingat
padaku, masih rutin menelponku meski selalu terputus oleh kesibukkannya. Hanya
saja aku tetap seorang manusia yang butuh dimanja dan diperhatikan. Dan saat
ini Bobby yang mampu memberikannya. Slahkan bila aku berusaha membahagiakan
diri sendiri?
“Aku menunggu
keputusanmu, Intan.”
Kuhela napas letih ragu-ragu.
“Aku tak bisa
menjawabnya sekarang Bob, bersabarlah sedikit waktu lagi, aku akan bicarakan
hal ini dengan Dani. Rasanya tidak adil kalau aku bertindak sendiri tanpa
mempedulikan perasaannya, karena bagaimana pun dia cowokku.”
Itu janjiku sekian hari silam.
Ternyata hari ini, saat Dani menelpon, aku tak mampu mengatakan apa-apa.
Esok harinya…
“Kau pasti sakit
jiwa, Intan.” Desis Rini kesal.
“Rin, ini
keinginan yang normal kan? Setidaknya aku sudah berusaha untuk bicara jujur,
bukan berselingkuh.”
“Sadarlah kalau
kejujuranmu itu akan sangat menyakitinya. Dia tulus menyayangimu, Intan. Dani
memang tak bisa sering-sering menemuimu, tapi ia selalu memberikan cintanya
setiap saat.”
“Astaga, Rini!
Jangan menyudutkanku hanya karena ia itu kakakmu.”
“Aku berbicara
bukan karena Dani adalah saudaraku, Intan, sungguh. Aku hanya ingin mengatakan
bahwa sebelum ia bertemu dengan mu ia hanya seorang pendiam tapi sejak
mengenalmu, barulah dia kenal lebih dekat sama benda yang namanya sisir, cermin
dan parfum.”
“Aku masih ingat
betul apel perdananya ke rumahmu. Seisi rumah dibuatnya panik. Berulang kali ia
bertanya apakah penampilannya sudah sempurna, dan mondar-mandir di depan
cermin. Anehnya saat pulang dia tidak mau bicara. Tapi dari sinar matanya aku
tahu kalau Dani sudah menemukan pribadi yang dicarinya. Kau tidak akan tahu
betapa besar arti kehadiranmu untuknya, Intan. Apalagi sekarang ada Bobby.”
Mataku menghangat.
“Aku hanya tidak
ingin masa remajaku berlalu sia-sia, aku cuma manusia yang ingin dimanja.”
“Bersabarlah,
Intan.”
“Sampai kapan?
Sampai rambutku memutih, gigi ompong semua, dan tidak bisa lagi berjalan tanpa
bantuan tongkat?”
“Yah, setidaknya
sampai jabatan Dani ditukar.”
“Kau pikir tukar
posisi itu segampang ganti baju?”
“Aku akan
berusaha Intan.”
Bagai tersambar petir, aku
melompat turun dari ranjang dan mendapatkan Dani bersandar di pintu kamar.
Wajahnya tampak muram, sekilas ia melempar pandang pada Rini, adiknya,yang
segera pergi.
“Dani?”
panggilku. Ouh kenapa suaraku jadi bergetar begini? “Bukannya kau harus kerja?”
“Badge kantor
dan organizer-ku ketinggalan.”
“Jadi kau sempat
mendengar pembicaraan kami?”
“Lumayan. Aku
sempat mendengar tentang kesetiaanku yang diragukan, dan yang meragukannya
adalah orang yang justru telah
mengkhianati kesetiaanku.”
“Dani! Kau…”
Dani mendekat. Matanya
menampakkan luka.
“Aku tak percaya
kau tega menduakan aku, Intan.”desisnya patah.
“Aku
melakukannya bukan tanpa alasan. Setiap kali kau tidak datang atau membatalkan
janji, yang ada dalam pikiranku adalah bahwa saat itu kau sedang bersama orang
lain.”
“Kau tidak bisa
memvonis seseorang tidak setia hanya karena itu.”
“Dani, pahamilah
bahwa perasaan itu timbul karena aku begitu takut kehilangan dirimu.”
Panas didada kurasakan menjalar
ke mata, mengalir lewat kaca-kaca cair yang segera mengaburkan pandanganku.
“Intan…” Dani
menyentuh kedua bahuku.
“Aku
merindukanmu, Dani, sangat merindukanmu…”
“Aku tahu. Tapi
yakinlah, kerinduan itu bukan milikmu sendiri. Tiap kali perasaanmu itu hadir ,
aku juga merasakan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih besar.”
Dani menarikku ke dalam
pelukkannya.
“Kau tahu berapa
banyak bintang di atas sana, Intan?”
“Sangat banyak.”
“Benar, tapi
cintaku untukmu jauh lebih banyak , dan kutabur di mana saja kau berada. Jadi
kau tak perlu merasakan kehilangan. Setiap kali kau merindukan aku, pandangilah
langit, aku ada di sana.”
Mataku menghangat lagi, dan tanpa
kuinginkan air mataku tumpah begitu banyak membasahi kemeja putihnya. Lalu
kurasakan belaian hangat dan penuh kelembutan.
“Sudahlah, aku
mengerti keinginanmu. Aku janji akan berusaha lebih baik lagi untuk membagi
waktu. Aku tak akan menyia-nyiakanmu.”
Dani menghapus air mataku sambil
tersenyum lembut.
***
No comments:
Post a Comment