Friday, October 19, 2012

Kerinduan Yang Tak Tertahankan



“ya, hallo….Intan disini.”
“Hai kupikir kau tidur.” Terdengar tawanya yang lembut.
“Bagaimana, sehat-sehat aja kan?”
Ah, suara itu masih menggema dan kukenal dengan baik, “eh yach begitulah”

“Sekolahmu lancar?”
“Hei, aku bukan tukang bolos. You know it.”
“Aku percaya, yang kumaksud , apakah kau masih tetap bisa mengatur waktu antara istirahat dan sekolah? Lalu waktu makanmu? Kesehatanmu…”
“Memang makin berat. Kendati begitu kau toh tidak akan menganjurkanku untuk menyerah, bukan? Aku sudah setengah jalan, Dan.”
“Sabarlah. Masih sering
bergadang?”
“Itu hobi baruku sebulan terakhir ini.”
“Intan.” Nada suaranya terdengar begitu panik. “Pasti wajahmu sudah seperti mayat hidup sekarang, dan penyakit lamamu….”
“Relax, Dani, don’t be so panic. Penyakit itu tidak pernah datang lagi sesudah kesibukanku menggunung. Aku malah yakin kalau aku sudah sembuh.”
“Syukurlah, tapi kau harus tetap waspada. Aku tidak mau melihat kondisimu yang buruk kalau kita ketemu nanti.”

Aku diam. Kalau kita ketemu nanti….apa itu mungkin? Sudah enam purnama kami tidak pernah bertemu muka sejak ulang tahunku yang terakhir, dan keyakinanku akan kelanjutan hubungan ini sudah mulai mencapai titik jenuhnya. Aku bahkan sudah memutuskan untuk….
“Dani…”
“Ada apa?”
“Kenapa menelponku?”
“Hei, tidak  ada larangan seseorang untuk menelpon kekasihnya bila sedang kangen kan? Atau .. kau tidak senang?”
“Bukan begitu, soalnya kau kan selalu sibuk.” Dan lagi kulirik jam dinding, “biasanya kau baru bisa agak santai menjelang tengah malam.”
“Hari ini aku dapat bala bantuan dari Erry. Tuh, dia kirim salam paling manis dari meja kerjanya. Sementara aku bicara denganmu, dia mengerjakan tugas bagianku. Dia baik yah?”

Diam beberapa saat. Samar-samar kudengar suara ketikan, lalu suara yang menanyakan rubric profil sudah bisa di-Lay out.
“Intan..”
Aku hanya menggumam menjawab panggilannya.
“aku kangen, kangen sekali.”
Aku bahkan lebih dari itu, batinku sampai terkadang sesak di dada tak mampu tertahankan lagi sakitnya.
“Jadi kenapa tak berusaha menemuiku?”
“Tugasku menumpuk, sayang. Jauh lebih banyak dari yang bisa kukerjakan. Aku akan kehilanganmu bila pertemuan kita hanya tiga kali dalam setahun, padahal kita dalam satu kota.”
Rasanya segores luka tengah diukir paksa di dadaku saat ini. Apakah Dani sudah merasa kalau aku mulai tidak tahan dengan model pacaran yang menyebalkan ini?
“Tapi aku percaya padamu,intan, kau tetap sabar menungguku. Aku yakin akan kasih sayangmu.”
Runtuh sudah niatku untuk mengakhiri hubungan kami. Suara itu tidak berubah, didalamnya selalu kurasakan ada rindu dan kasih sayang melimpah. Seharusnya aku bersyukur mendapatkannya. Tapi cinta perlu bukti , setidaknnya buatku. Kata-kata cinta dan kangen tak ada artinya bila kami selalu dipisahkan oleh kesibukannya. Aku menginginkan rutin meskipun hanya semenit dalam 7x24 jam setiap minggunya. Bukan hanya suara telpon yang sering terputus bila tiba-tiba dipanggil oleh pemimpin redaksi atau meeting.
“Terima kasih, Dan, aku akan berusaha menjaga kesetiaanku. Kuharap kau juga begitu jangan kotori kepercayaanku.”
“Pasti, Intan. Aku …” suaranya terputus sejenak, lalu terdengar sedikit menyesal saat mengatakan.
“Maaf yah, aku harus rapat.”
Tuh kan kubilang juga apa.
“Aku tak apa-apa.”
“Maaf yah, padahal aku masih kangen. Nanti kuhubungi lagi.”
“Besok aja, aku paham kok.”
“Thanks. I Love You, Intan.”

Sebelum sempat mengucapkan kalimat yang sama, sudah terdengar akan nada putus. Dengan perasaan letih kupejamkan mata, mencoba mencari sosok Dani dalam gelap, mencoba membangkitkan rasa kangen padanya. Tapi itu menyakitiku. Aku bahkan ingat lagi pada raut  wajahnya. Satu hal yang masih cukup jelas kuingat tentang Dani adalah saat dimana ia memelukku dengan hangat di ulang tahunku yang ke 19, seolah ingin menyalurkan semua cinta yang dimilikinya. Selain itu… aku tak ingat apa-apa tentangnya.
Aku tak tahu kenapa dulu aku menerimanya padahal aku tahu Dani tidak akan punya banyak waktu untukku. Dulu cinta kami hanya ditautkan oleh kesetiaan yang kami agungkan di atas segalanya, yang kami percaya bisa mempersatukan rindu ini seberapa banyak pun halangan merintangi. Tapi kini aku meragukan semua itu.
Ada seseorang, Bobby yang mengambil alih tempat Dani beberapa minggu ini. Sosok yang bersedia menyediakan semua yang kutuntut dari Dani. Waktunya, perhatiannya, hatinya, tanpa peduli saat kukatakan aku sudah punya kekasih.

“Dani memang masih pacarmu, tapi aku toh berhak bersaing dengannya selama janur kuning belum melengkung.” Sahutnya ringan dua hari yang lalu.
“Dia hanya pacar simbolis bagimu, In, untuk apa dipertahankan lagi?”
“Aku menyayanginya.”
“Dia tidak memberimu apa-apa selain kesendirian.”
“Dia memberiku tempat yang paling istimewa dalam hatinya.”
“Jangan membuatku tertawa,Intan.”
“Dia mencintaiku, Bob, aku percaya kalau Dani…”
“Setia? Ah, Intan kau lugu sekali. Kalian sudah lama tidak bertemu, masa sih kau tidak punya kecurigaan? Disana Dani selalu bertemu dengan banyak orang, siapa tahu ada gadis yang…”

Aku tak mendengar akhir kalimat Bobby yang mencobba menjelek-jelekkan Dani. Namun kata-katanya seolah membekukan segalanya. Hatiku semakin bimbang.
“Aku menawarkan tempat yang lebih istimewa untukmu, Intan. Aku tidak memberikan janji kau bisa membuktikannya sendiri.”
“Lalu bagaimana dengan Dani? Dia…”
Forget him, sampai kapan kau akan menyiksa diri dengan kata-kata cinta dan rindu, padahal sudah lama kalian tak bertemu? Jangan sia-siakan dirimu hanya untuk menunggu seseorang  yang mungkin tidak pernah ingat padamu.”
Itu tidak benar, Dani masih ingat padaku, masih rutin menelponku meski selalu terputus oleh kesibukkannya. Hanya saja aku tetap seorang manusia yang butuh dimanja dan diperhatikan. Dan saat ini Bobby yang mampu memberikannya. Slahkan bila aku berusaha membahagiakan diri sendiri?
“Aku menunggu keputusanmu, Intan.”
Kuhela napas letih ragu-ragu.
“Aku tak bisa menjawabnya sekarang Bob, bersabarlah sedikit waktu lagi, aku akan bicarakan hal ini dengan Dani. Rasanya tidak adil kalau aku bertindak sendiri tanpa mempedulikan perasaannya, karena bagaimana pun dia cowokku.”
Itu janjiku sekian hari silam. Ternyata hari ini, saat Dani menelpon, aku tak mampu mengatakan apa-apa.
Esok harinya…
“Kau pasti sakit jiwa, Intan.” Desis Rini kesal.
“Rin, ini keinginan yang normal kan? Setidaknya aku sudah berusaha untuk bicara jujur, bukan berselingkuh.”
“Sadarlah kalau kejujuranmu itu akan sangat menyakitinya. Dia tulus menyayangimu, Intan. Dani memang tak bisa sering-sering menemuimu, tapi ia selalu memberikan cintanya setiap saat.”
“Astaga, Rini! Jangan menyudutkanku hanya karena ia itu kakakmu.”
“Aku berbicara bukan karena Dani adalah saudaraku, Intan, sungguh. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sebelum ia bertemu dengan mu ia hanya seorang pendiam tapi sejak mengenalmu, barulah dia kenal lebih dekat sama benda yang namanya sisir, cermin dan parfum.”
“Aku masih ingat betul apel perdananya ke rumahmu. Seisi rumah dibuatnya panik. Berulang kali ia bertanya apakah penampilannya sudah sempurna, dan mondar-mandir di depan cermin. Anehnya saat pulang dia tidak mau bicara. Tapi dari sinar matanya aku tahu kalau Dani sudah menemukan pribadi yang dicarinya. Kau tidak akan tahu betapa besar arti kehadiranmu untuknya, Intan. Apalagi sekarang ada Bobby.”
Mataku menghangat.
“Aku hanya tidak ingin masa remajaku berlalu sia-sia, aku cuma manusia yang ingin dimanja.”
“Bersabarlah, Intan.”
“Sampai kapan? Sampai rambutku memutih, gigi ompong semua, dan tidak bisa lagi berjalan tanpa bantuan tongkat?”
“Yah, setidaknya sampai jabatan Dani ditukar.”
“Kau pikir tukar posisi itu segampang ganti baju?”
“Aku akan berusaha Intan.”
Bagai tersambar petir, aku melompat turun dari ranjang dan mendapatkan Dani bersandar di pintu kamar. Wajahnya tampak muram, sekilas ia melempar pandang pada Rini, adiknya,yang segera pergi.
“Dani?” panggilku. Ouh kenapa suaraku jadi bergetar begini? “Bukannya kau harus kerja?”
“Badge kantor dan organizer-ku ketinggalan.”
“Jadi kau sempat mendengar pembicaraan kami?”
“Lumayan. Aku sempat mendengar tentang kesetiaanku yang diragukan, dan yang meragukannya adalah orang  yang justru telah mengkhianati kesetiaanku.”
“Dani! Kau…”
Dani mendekat. Matanya menampakkan luka.
“Aku tak percaya kau tega menduakan aku, Intan.”desisnya patah.
“Aku melakukannya bukan tanpa alasan. Setiap kali kau tidak datang atau membatalkan janji, yang ada dalam pikiranku adalah bahwa saat itu kau sedang bersama orang lain.”
“Kau tidak bisa memvonis seseorang tidak setia hanya karena itu.”
“Dani, pahamilah bahwa perasaan itu timbul karena aku begitu takut kehilangan dirimu.”
Panas didada kurasakan menjalar ke mata, mengalir lewat kaca-kaca cair yang segera mengaburkan pandanganku.
“Intan…” Dani menyentuh kedua bahuku.
“Aku merindukanmu, Dani, sangat merindukanmu…”
“Aku tahu. Tapi yakinlah, kerinduan itu bukan milikmu sendiri. Tiap kali perasaanmu itu hadir , aku juga merasakan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih besar.”
Dani menarikku ke dalam pelukkannya.
“Kau tahu berapa banyak bintang di atas sana, Intan?”
“Sangat banyak.”
“Benar, tapi cintaku untukmu jauh lebih banyak , dan kutabur di mana saja kau berada. Jadi kau tak perlu merasakan kehilangan. Setiap kali kau merindukan aku, pandangilah langit, aku ada di sana.”
Mataku menghangat lagi, dan tanpa kuinginkan air mataku tumpah begitu banyak membasahi kemeja putihnya. Lalu kurasakan belaian hangat dan penuh kelembutan.
“Sudahlah, aku mengerti keinginanmu. Aku janji akan berusaha lebih baik lagi untuk membagi waktu. Aku tak akan menyia-nyiakanmu.”
Dani menghapus air mataku sambil tersenyum lembut.

***

No comments: